Budayabangsabangsa.Com – Jakarta Sabtu, 23/09/2017
Selama tiga setengah bulan Nelayan Pulau Pari menjalani proses persidangan, pada Senin 18 September 17 merupakan sidang ke 14, tiga nelayan pulau pari kepulauan seribu menghadapi tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebelumnya JPU mendakwa tiga nelayan Pulau Pari dengan pasal 368 ayat 1 KUHP ancaman pidana 9 (sembilan) tahun penjara dengan tuduhan melakukan tindak pidana pungutan liar (pungli) dan pemerasan terhadap wisatawan di Pantai Perawan.
Dalam proses persidangan yang telah berlangsung baik Jaksa Penuntut Umum maupun Kuasa hukum nelayan telah mengajukan alat-alat bukti. JPU menghadirkan 7 (tujuh) orang saksi yang memberatkan terdakwa sementara tim Kuasa hukum nelayan menghadirkan 8 (delapan) orang saksi dan 4 (empat) orang ahli yang meringankan.
Tim Kuasa Hukum Selamatkan Pulau Pari menyatakan setelah proses Persidangan berjalan menilai JPU tidak mampu membuktikan dakwaan bahwa telah terjadi tindak pidana pungutan liar atau pemerasan.
Adapun alasan Tim Kuasa Hukum adalah Dari 7 orang saksi yang dihadirkan JPU yakni Tiga orang saksi polisi aparat kepolisian kepulauan seribu tidak melihat, mendengar dan merasakan secara langsung telah terjadi pemerasan.
Dua orang saksi pengunjung yang mengaku mendapatkan perlakukan pemerasan tidak mendengar, melihat, merasakan adanya ancaman berupa bentakan, suara keras, mata melotot atau ancaman bentuk fisik lainnya.
Sementara kesaksikan dua orang PNS kepulauan seribu menyatakan pantai perawan bukan objek retribusi pemerintah daerah.
Dari 8 orang saksi yang dihadirkan kuasa hukum, 3 (tiga) orang saksi fakta menjelaskan tidak melakukan pemerasan dengan ancaman dan kekerasan, 5 (lima) orang saksi menjelaskan pengelolaan pantai perawan merupakan hasil musyawarah bersama warga keuntungan yang diperoleh disalurkan untuk bantuan kepada anak yatim, mushola dan kepentingan sosial lainya, pemerintah tidak pernah mensosialisasikan adanya pelarangan donasi dan telah mengetahui warga melakukan pengambilan donasi.
Sementara 4 (empat) orang ahli yang dihadirkan yakni Ahli Prastowo Yustinus menjelaskan bahwa terhadap pantai perawan karena dibangun dan dikelola oleh warga tidak dapat dijadikan objek pajak dan retribusi sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 Ahli DR Dedi.
Supriadi Adhuri dari LIPI menjelaskan kepada awak Media Budaya Bangsa Bangsa bahwa nelayan Pulau Pari memiliki hak pengelolaan atas pantai perawan dan pengambilan donasi dalam rangka keberlanjutan wisata harapan saya semoga tiga terdakwa bisa mendapatkan keringanan dari tuntutan JPU ungkapnya.
( Sutarno/Ahmad)
Leave a Reply