Dia seorang inovator pendidikan visioner yang menatap dan menjemput jauh ke depan menembus abad dan milenium. Berpengetahuan luas, berwibawa, tegas, kebapakan, cerdas, serta memiliki sifat dan sikap lainnya yang layak dimiliki oleh seorang pemimpin dan pendidik pembawa damai dan toleransi.
Alumni Ponpes Gontor ini sungguh seorang pelopor pendidikan terpadu (sebuah paradigma baru pendidikan). Sehingga atas jasanya melakukan perubahan besar dalam transformasi kependidikan di Indonesia, putera bangsa kelahiran Gresik, 30 Juli 1946, itu telah dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa bidang Management, Education and Human Resources oleh IMCA (International Management Centres Association)-Revans University, sebuah universitas action learning yang berbasis di Buckingham, Inggris dan Amerika Serikat. Dia dinilai telah sukses mewujudkan ide baru dalam sebuah paradigma baru pendidikan Islam melalui Ma’had Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun.
Menurut Regional Director and Associate Professor IMCA, Antony Hii, Syaykh Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun
Panji Gumilang adalah seorang inovator pendidikan yang senantiasa sungguh-sungguh belajar sambil mengambil aksi agung dalam rancangannya. “Tak ada kata tak bisa. He is a man with great of action learning,” puji Dr. Antony Hii, lalu menyebut serangkaian partisipasi Syaykh Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun
Al-Zaytun di bidang pendidikan dan manajemen sumber daya manusia, seperti sebagai anggota Komisaris Akademi Arab di Kairo, sebagai anggota Organisasi Asosiasi Perdamaian Taiwan, Ketua Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Ketua Masyarakat Ekonomi Pesantren Indonesia.
Pembawa Damai dan Toleransi
Syaykh Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun, Al-Zaytun ini adalah seorang beriman pembawa damai dan toleransi. Di pondok pesantren modern ini, dia telah mengembangkan budaya toleransi dan perdamaian. Bukan hanya dalam teori, wacana atau slogan, tetapi dalam aplikasi dan keteladanan. Sebagai pemangku pendidikan pesantren, dia selalu menunjukkan keteladanan dalam membimbing santrinya untuk membina persaudaraan dengan siapa pun tanpa membedakan asal-usul dan agamanya.
Tidak banyak, bahkan mungkin belum ada, pemimpin pondok pesantren yang secara khusus mencetak kartu ucapan Selamat Natal untuk dikirimkan kepada para pendeta dan pimpinan gereja, baik yang sudah dikenal maupun belum dikenalnya. Bahkan sebaliknya, justru ada ulama yang mengharamkannya.
Sejak ia masih belajar di Pondok Pesantren Modern Gontor, sudah mengimpikan berprofesi sebagai guru yang tanpa kekerasan. Dia tidak suka kekerasan. Dia ingin Indonesia memasuki zona damai dan demokrasi. Dalam perjuangan yang panjang tak kenal lelah, pada usia memasuki lima puluhan tahun, lulusan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini berhasil mewujudkan impiannya membangun sebuah lembaga pendidikan pesantren spirit but modern system.
Yakni, Ma’had Al-Zaytun yang bermotto: Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Budaya Perdamaian. Sebuah motto yang merupakan padanan dari visi dan obsesi dirinya sendiri bersama sahabat – sahabatnya. Dia punya visi untuk memancarkan persaudaraan, toleransi dan perdamaian dari Al-Zaytun ke seantero Komponis Indonesia Raya bahkan ke seluruh penjuru dunia.
Patutlah para sahabatnya,termasuk sahabat yang nonmuslim, menyebutnya seorang tokoh pembawa damai dan toleransi. Pendeta Rudolf Andreas Tendean, yang memimpin rombongan Keluarga Besar Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Koinonia, Jakarta, berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun (31/07/2004), adalah satu dari sekian banyak orang yang merasakan bagaimana sosok Syaykh Abdussalam Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang membawa damai dan toleransi dalam komunikasi, pergaulan dan persahabatan mereka.
Adalah Syaykh Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang yang memulai (berinisiatif) menyebar damai dan persaudaraan dalam persahabatan mereka. Manakala, dia mengirim kartu ucapan Selamat Natal kepada sejumlah pendeta dan pimpinan gereja. Kartu Natal yang menjadi awal berkembangnya damai dan toleransi sehingga kedua umat beriman itu saling mengunjungi dan saling memahami.
Bukan hanya kali ini Syaykh Panji Gumilang mengambil inisiatif damai, toleransi, persaudaraan dan persahabatan. Persahabatan yang kental juga telah lebih awal dijalin oleh Syaykh dengan komunitas Taiwan di Indonesia. Ditandai kunjungan Kepala Kantor Perwakilan Dagang dan Ekonomi Taiwan di Indonesia sejak dipimpin oleh Mr. Sui Chi Lin hingga pejabat yang baru Mr. David Y.L. Lin.
Persahabatan dengan komunitas Taiwan ini, bermula pada tahun 1997 dari pertemuan Syaykh AS Panji Gumilang dengan dua orang Lihat Daftar Tokoh Pengusaha – pengusaha Tionghoa, yakni Mr. Liang dari Taiwan, yang kemudian di Al-Zaytun dianugerahi nama Luqman, dan Mr. Hendra. Waktu itu, terjadi kerusuhan yang membuat banyak warga etnis Tionghoa menjadi korban dan ketakutan. Syaykh membuka tangan untuk memberikan perlindungan kepada keduanya.
Begitu pula persahabatan dengan John Rath, Second Secretary Kedutaan Besar AS yang juga sebagai Atase Politik AS, bersama rombongan berkunjung dan berdoa di Al-Zaytun. John Rath, Atase Politik negara adi daya, itu ketika berkunjung ke Al-Zaytun bertutur, masyarakat Amerika tetap ingin bersahabat dengan Indonesia. Bahkan John Rath berdoa di dalam bangunan Masjid Rahmatan lil Alamin agar persahabatan Indonesia dan Amerika selalu abadi. “Kami berdoa untuk kejayaan sekolah ini serta orang-orang yang bersama sekolah ini, hari ini dan di masa yang akan datang,” kata John Rath.
Dalam pandangan Syaykh Panji Gumilang, persahabatan sejati akan selalu menghasilkan manfaat bagi siapa saja, terutama bagi para pelakunya. Apalagi jika persahabatan dikelola dengan cerdas, tulus dan bersahaja. Menurutnya, persahabatan adalah pintu masuk terbaik menuju perdamaian di muka bumi. Dengan persahabatan, katanya, tak hanya perdamaian yang diperoleh, melainkan pintu kesejahteraan pun menjadi terbuka lebar.
Bagi dia dan segenap eksponen dan santri Al-Zaytun, persahabatan bukan hanya sekadar kata manis yang enak didengar. Tetapi, segenap civitas akademika Al-Zaytun telah membuktikan dalam pergaulan kesehariannya. Al-Zaytun senantiasa menjalin persahabatan dengan siapa pun yang mau tanpa memandang perbedaan agama, kultur atau afiliasi politik.
Menurutnya, toleransi adalah akidah dalam beragama. “Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul,” ujar Syaykh Panji Gumilang.
Dia menjelaskan, perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ru’bah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tatacara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurutnya, berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: (i) menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; (ii) menunjuki manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan (iii) mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, kata Syaykh yang tetap setia kepada isteri satu-satunya Khotimah Rahayu, maka pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, telah memiliki strategi, metode dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, dia mengingatkan, sebagaimana dipesankan dengan sangat oleh Sang Pencipta agama, kiranya umat manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing, apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan.
Berkaitan dengan hal ini, Syaykh Panji Gumilang mengatakan berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Menurutnya, kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. “Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya,” ujarnya.
Dia pun mengutip dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Syaykh menjelaskan, sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik dari semua itu.
Sikap toleran, jelasnya, juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. “Toleran, tidak menciptakan individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri,” kata Syaykh dengan mantap. Sikap toleran, katanya, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan.
Leave a Reply